Haram Hukumnya Berdusta atas Nama Rasulullah saw

26 Agu
Haram Hukumnya Berdusta atas Nama Rasulullah saw.
Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. berkata: “Rasulullah saw. bersabda, ‘Barangsiapa sengaja berdusta atas namaku, maka silahkan menempati tempat duduknya di Neraka’.” (HR Bukhari [103] dan Muslim dalam al-Muqaddimah [3])  Diriwayatkan dari Mughirah bin Syu’bah r.a. berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya, berdusta atas namaku tidak sama seperti berdusta atas nama orang lain. Barangsiapa sengaja berdusta atas namaku, maka silahkan menempati tempat duduknya di Neraka’.” (HR Muslim [4])

Diriwayatkan dari Samurah bin Jundab r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa meriwayatkan sebuah hadits, padahal dia mengetahui bahwa hadits itu dusta, maka sesungguhnya ia termasuk salah satu dari para pendusta.” (HR Muslim dalam al-Muqaddimah [I/9])

Kandungan Bab:
1. Haram hukumnya berdusta atas nama Rasulullah saw. Perbuatan itu termasuk dosa besar dan pelakunya berhak masuk ke dalam Neraka. Atau ia telah menyiapkan tempat di dalam Neraka. Akan tetapi, ia tidak dihukumi kafir selama ia tidak menghalalkan perbuatan tersebut, wallahu a’lam.

2. Barangsiapa dengan sengaja berdusta atas nama Rasulullah saw. walaupun hanya sekali, maka gugurlah martabat agamanya dan ditolak riwayatnya. Seluruh riwayatnya tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Kecuali ia bertaubat dengan taubat nashuha. Jika ia telah bertaubat, riwayatnya diterima kembali. Berbeda dengan orang yang beranggapan bahwa taubatnya tidak menjadikan riwayatnya diterima.

Imam an-Nawawi telah menukil dari sejumlah ulama, beliau berkata dalam kitab Syarh Shahih Muslim (I/70), “Pendapat yang disebutkan oleh para ulama tersebut sangat lemah dan bertentangan dengan kaidah-kaidah syar’i. Pendapat yang terpilih adalah taubatnya dinyatakan sah dan riwayatnya boleh diterima kembali setelah ia bertaubat dengan sungguh-sungguh serta telah menyempurnakan syarat taubat yang sudah dikenal luas, yakni: Berhenti dari perbuatan maksiatan itu, menyesali perbuatannya dahulu dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Hal tersebut sesuai dengan kaidah-kaidah syari’at. Para ulama telah sepakat menerima riwayat orang kafir yang telah memeluk Islam. Seperti itulah keadaan mayoritas Sahabat Nabi. Mereka sepakat menerima persaksiannya. Dan dalam masalah ini tidak ada perbedaan antara persaksian dan riwayat, wallahu a’lam.”

3. Tidak ada perbedaan apakah berdusta atas nama Rasulullah saw. itu dalam masalah ‘aqidah ataukah dalam masalah hukum ataukah dalam masalah targhib dan  tarhib serta nasihat.

An-Nawawi berkata dalam kitab Syarh Shahiih Muslim (I/70-71): “Tidak ada beda apakah berdusta atas nama Rasulullah saw. itu dalam masalah hukum ataupun masalah yang belum ada hukum tertentu, seperti masalah targhib wat tarhib (amalan-amalan yang dianjurkan dan dilarang), mawaa’izh (kata-kata nasehat atau hikmah) dan masalah-masalah sejenis lainnya. Semua itu hukumnya haram, termasuk dosa besar dan termasuk perbuatan keji berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin yang mu’tabar. Berbeda dengan anggapan bathil kaum Karramiyyah, salah satu kelompok ahli bid’ah, menurut mereka sah-sah saja memalsu hadits dalam masalah targhib wat tarhib. Anggapan bathil ini diikuti pula oleh mayoritas kaum jahil yang menganggap diri mereka ahli zuhud atau dianggap zuhud oleh orang-orang jahil seperti mereka.

Syubhat mereka adalah, dalam sebuah riwayat disebutkan dengan lafazh: “Barangsiapa sengaja berdusta atas namaku untuk menyesatkan manusia, maka ia telah menyiapkan tempatnya di Neraka.” Menurut sebagian mereka, hal itu termasuk berdusta untuk Rasulullah saw. bukan berdusta atas namanya!

Anggapan dan argumentasi mereka ini sangat kentara kebodohan dan kejahilannya, dan merupakan bukti nyata jauhnya mereka dari kaidah-kaidah syariat. Dalam masalah ini mereka telah mengoleksi sejumlah kekeliruan yang memang pantas terjadi pada diri mereka karena akal mereka yang dangkal dan pikiran mereka yang picik serta rusak, mereka menyelisihi firman Allah SWT, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya,” (Al-Israa’: 36).

Dan mereka juga menyelisihi hadits-hadits mutawatir yang sudah jelas maknanya. Dan hadits-hadits lain yang masyhur tentang larangan memberi persaksian palsu. Mereka juga telah menyelisihi ijma’ ulama dan menyelisihi dalil-dalil qath’I lainnya tentang haramnya berdusta atas nama seseorang. Lalu bagaimana pula dengan berdusta atas nama seorang hamba yang sabdanya adalah syari’at dan perkataannya adalah wahyu?!

Jika anda meneliti perkataan mereka tadi, niscaya akan anda temui kebohongan terhadap Allah Ta’ala, sebab Allah SWT berfirman, “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya),” (An-Najm: 3-4).

Yang lebih aneh lagi adalah perkataan mereka, “Ini adalah kedustaan demi beliau!” Ini jelas merupakan kejahilan mereka dalam memahami bahasa Arab dan bahasa syari’at. Sebab, semua itu menurut mereka sendiri adalah kedustaan atas nama beliau. Adapun hadits yang menjadi sandaran mereka, maka para ulama telah memberikan jawaban sebagai berikut:

Pertama, jawaban yang paling tepat dan paling simpel adalah tambahan dalam matan hadits “untuk menyesatkan manusia” merupakan tambahan yang bathil. Para ulama hadits sepakat menolaknya dan sangat jelas sekali ketidak-shahihannya

Kedua, jawaban Abu Ja’far at-Thahawi, “Kalau pun tambahan itu shahih, maka fungsinya hanyalah sebagai ta’kid (penegasan). Seperti halnya firman Allah SWT, “Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan,” (Al-An’am: 144).

Ketiga, huruf lam pada awal kata liyudhilla bukanlah lam ta’lil, tapi laam shairurah atau lam ‘aqibah. Maknanya, akibat kedustaannya adalah penyesatan orang lain. Seperti dalam firman Allah SWT, “Maka dipungutlah ia oleh keduarga Fir’aun yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka,” (Al-Qashash: 8).

Contoh-contoh lain dalam Al-Qur’an dan perkara orang-orang Arab sangat banyak sekali. Berdasarkan hal itu, maka makna hadits tersebut adalah kedustaannya atas nama Rasulullah saw. berakibat penyesatan orang lain.

Kesimpulannya: Pendapat mereka ini terlalu lemah untuk dibahas di sini, sudah terlalu jauh dari kebenaran untuk dijauhkan lagi darinya, sudah terlalu rusak untuk ditetapkan kerusakannya, wallahu a’lam.

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Baari (I/199-200), “Tidak ada mafhum mukhalafah pada sabda Nabi, ‘Atas namaku.’ Sungguh tidak masuk akal bila dikatakan boleh berdusta demi beliau! Karena beliau sendiri telah melarang dusta secara mutlak. Sebagian orang jahil ada yang terperdaya dengan alasan tersebut, lalu mereka memalsukan hadits-hadits yang berkaitan dengan targhib wat tarhib (amalan-amalan yang dianjurkan dan yang dilarang). Mereka berkata, ‘Kami tidak berdusta atas nama beliau. Kami lakukan itu demi menegakkan syari’at!’ Mereka tidak sadar, mengada-adakan perkataan atas nama Rasulullah saw. yang tidak pernah beliau katakan merupakan kedustaan atas Allah SWT. Sebab terkandung di dalamnya penetapan hukum syari’at, baik itu hukum wajib maupun mustahab atau haram maupun makruh.”Penyelisihan kaum Karramiyyah dalam masalah ini tidaklah mu’tabar (diperhitungkan). Mereka membolehkan mengada-adakan dusta atas nama Rasulullah saw. dalam masalah targhib wat tarhib, khususnya untuk menegaskan apa yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah. Menurut mereka itu adalah dusta demi beliau bukan dusta atas nama beliau. Perkataan mereka itu jelas merupakan kejahilan dalam memahami bahasa Arab. Sebagian dari mereka berpegang kepada lafazh hadits yang tidak shahih, “Barangsiapa sengaja berdusta atas namaku untuk menyesatkan manusia.”

Kalau pun shahih, maka huruf lam di awal kata liyudhilla bukanlah lam ta’lil, namun lam shairuurah (akibat), sebagaimana tersebut dalam firman Allah SWT, “Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan,” (Al-An’aam: 144).

Maknanya adalah, akibat perbuatannya itu adalah penyesatan orang lain. Atau merupakan pengkhususan salah satu alasan dari alasan-alasan yang ada, tanpa ada mafhum mukhalafah di dalamnya. Misalnya dalam firman Allah SWT, “Janganlah kamu memakan ribu dengan berlipat ganda.” (Ali ‘Imran: 130).

Dan dalam firman Allah SWT, “Dan janganlan kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan,” (Al-An’aam: 151).

Penyebutan alasan membunuh anak karena takut miskin, memakan riba dengan berlipatganda dan berdusta atas Allah SWT karena menyesatkan manusia dalam ayat-ayat di atas fungsinya adalah untuk ta’kid (penegasan) hukum bukan pengkhususan hukum karena alasan yang disebutkan itu.

4. Haram hukumnya meriwayatkan hadits maudhu’ dan palsu kecuali untuk memperingatkan orang lain dan menjelaskan kedudukannya. Imam an-Nawawi rhm berkata dalam Syarah Shahiih Muslim (I/71-72), “Haram hukumnya meriwayatkan hadits maudhu’ bagi yang telah mengetahuinya atau berat persangkaannya hadits itu maudhu’. Barangsiapa meriwayatkan hadits sedangkan ia tahu atau berat persangkaannya bahwa hadits itu maudhu’ tanpa menjelaskan kedudukan hadits tersebut, maka ia termasuk dalam ancaman di atas dan tergolong orang yang berdusta atas nama Rasulullah saw.”Oleh karena itu, para ulama menganjurkan bagi yang ingin meriwayatkan sebuah hadits atau ingin menyebutkannya hendaklah memeriksanya terlebih dahulu. Jika ternyata hadits itu shahih atau hasan, maka barulah ia mengatakan, Rasulullah saw. bersabda atau Rasulullah saw. melakukan ini atau kata-kata sejenisnya. Jika ternyata dha’if (lemah riwayatnya), maka janganlah katakan, Rasulullah saw. bersabda, Rasulullah saw. melakukan ini, Rasulullah saw. memerintahkan ini, Rasulullah melarang ini dan kata-kata sejenisnya. Hendaklah ia mengatakan, Diriwayatkan dari beliau seperti ini, atau disebutkan dari beliau seperti ini, atau dihikayatkan dari beliau begini, atau konon katanya, atau telah disampaikan kepada kami begini atau kata-kata sejenisnya yang tidak mengesankan penyandaran perkara itu secara tegas kepada beliau, wallahu a’lam.Para ulama berkata, “Bagi orang yang membacakan hadits hendaklah mengetahui ilmu nahwu dan ilmu bahasa, mengetahui nama-nama perawi hadits sehingga ia terhindar dari mengatakan apa yang tidak beliau katakan. Jika terbukti bahwa telah terjadi kesalahan dalam riwayat tersebut dan yang benar adalah perkataan jumhur ulama Salaf dan Khalaf, hendaklah ia membacanya dengan bacaan yang benar dan tidak merubah apa yang tertulis dalam kitab. Namun hendaklah ia menulis dalam catatan kaki bahwa yang tertulis dalam riwayat adalah begini sedangkan yang benar adalah begini. Ketika meriwayatkannya, ia mengatakan: ‘Demikianlah yang tertera dalam hadits atau dalam riwayat kami sedangkan yang benar adalah begini.’”Dengan cara seperti itu terkumpullah dua maslahat sekaligus. Bacaan yang menurutnya salah itu barangkali benar menurut orang lain. Kalaulah begitu saja diperbolehkan mengubah isi kitab, maka dikhawatirkan nantinya orang-orang yang bukan ahlinya turut campur tangan. Para ulama berkata, “Bagi yang meriwayatkan hadits atau membaca hadits, apabila tersamar atasnya sebuah lafazh dalam matan hadits, hendaklah ia membacanya dengan menyebutkan keraguannya, yaitu dengan mengatakan, akibatnya ‘Atau sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah saw.’ wallahu a’lam.”Al-Baghawi rhm berkata dalam Syarhus Sunnah (I/255-256), “Ketahuilah, bahwa berdusta atas nama Rasulullah saw. merupakan kebohongan yang paling besar setelah kebohongan orang-orang kafir terhadap Allah SWT. Dan Rasulullah saw. sendiri telah mengatakan, “Sesungguhnya, berdusta atas namaku tidak sama seperti berdusta atas nama orang lain selainku. Sesungguhnya, barangsiapa sengaja berdusta atas namaku, makan hendaknya menempatkan tempatnya Neraka.”Oleh sebab itu, para Sahabat dan Tabi’in tidak menyukai sikap terlalu banyak menyampaikan hadits dari Nabi saw. karena takut akan menambah-nambahi atau mengurangi-nguranginya atau melakukan kesalahan dalam meriwayatkannya. Sampai-sampai sejumlah Tabi’in sangat takut menisbatkan hadits secara marfu’ kepada Rasulullah saw., mereka meriwayatkannya secara mauquf dari Sahabat. Mereka mengatakan, “Dosa berdusta atas nama Sahabat lebih mudah daripada dosa berdusta atas nama Rasulullah saw.” Di antara mereka ada yang meriwayatkan hadits musnad marfu’, hingga apabila sampai kepada sabda Rasulullah saw., ia berkata: “Beliau saw. bersabda.” Ia tidak mengatakan: “Rasulullah saw. bersabda.” Ada yang berkata, “Dinisbatkan kepada beliau,’ ada yang mengatakan, “Menurut riwayat,” ada yang mengatakan, “Dinukilkan dari Nabi saw.”Semua itu disebabkan ketakutan mereka dalam meriwayatkan hadits dari Rasulullah saw. dan karena takut terkena ancaman beliau, sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 187-193.

Oleh: Fani

Kitab Al-Buyu’ ( Jual – Beli )

26 Agu
Kitab Al-Buyu’

( Jual – Beli )

Fadly
Definisi Buyu’

Kata buyu’ adalah bentuk jama’ dari bai’ artinya jual-beli. Sering dipakai dalam bentuk jama’ karena jual-beli itu beraneka ragam bentuknya.

Bai’ Secara istilah ialah pemindahan hak milik kepada orang lain dengan imbalan harga. Sedangkan syira’ (pembelian) ialah penerimaan barang yang dijual (dengan menyerahkan harganya kepada si penjual). Dan seringkali masing–masing dari kedua kata tersebut diartikan jual beli.

Disyari’atkan Jual Beli

Allah swt berfirman: “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah: 275)

Firman-Nya lagi: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” (QS An-Nisaa’: 29)

Dari Hakim bin Hizam ra, dari Nabi saw, beliau bersabda. “Penjual dan pembeli memiliki hak khiyar (hak memilih) selama mereka belum berpisah.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX: 328 no: 2110, Muslim III: 1164 no: 1532, ‘Aunul Ma’bud IX: 330 no:3442, Tirmidzi II: 359 no. 1264 dan Nasa’i VII: 244).

Kaum Muslimin sepakat atas bolehnya melakukan perniagaan, dan kebijakan memang mengharuskan adanya aktifitas jual beli ini, karena kebutuhan manusia sehari-hari pada umumnya bergantung pada apa yang ada di tangan kawannya, sedangkan kawan tersebut terkadang tidak memberikannya dengan cuma-cuma kepada rekannya. Maka di dalam pensyariatan jual beli terdapat sarana yang sah untuk menggapai tujuan dengan cara yang sah tanpa menzhalimi orang lain. (Lihat Fathul Bari IV: 287).

Dorongan dan Anjuran untuk Melakukan Usaha

Sebagaimana dijelaskan dalam riwayat-riwayat di bawah ini:

Dari al-Miqdam dari Nabi beliau bersabda, “Tidaklah seseorang menyantap mekanan yang lebih baik dari pada ia menyantap makanan dari hasil jerih payahnya sendiri. Dan sesungguhnya Nabiyullah Daud ‘alaihis salam biasa makan dari hasil usahanya sendiri.” (Shahih: Shahihul Jami’ no: 5546 dan Fathul Bari IV: 303 no: 2072)

Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya seseorang di antara kamu mencari seikat kayu bakar, lalu dipanggul di atas punggunnya itu lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang lain, bisa jadi ia diberi ataupun ditolak.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 7069, Fathul Bari IV: 303 no: 2074, Tirmidzi II: 94 no: 675, dan Nasa’i V: 96).

Boleh Mencari Kekayaan bagi Orang yang Bertakwa

Orang yang bertakwa boleh mencari kekayaan sebagaimana riwayat berikut:

Dari Mu’adz bin Abdullah bin Khubaib ra, dari bapaknya dari pamannya bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tidak mengapa (memburu) kekayaan bagi orang yang bertakwa; dan kesehatan itu lebih berharga bagi orang yang bertakwa daripada kekayaan dan jiwa yang baik temasuk nikmat (yang besar).” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1741 dan Ibnu Majah II : 724 no: 2141)

Dorongan agar Bersikap Bijak dalam Mencari Nafkah

Dari Jabir bin Abdullah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Wahai sekalian manusia bertakwalah kepada Allah dan carilah nafkah dengan cara yang baik, karena sesungguhnya seseorang tidak akan sekali-kali meninggal dunia sebelum rizkinya disempurnakan, sekalipun rizkinya terlambat (datang) kepadanya. Maka bertakwalah kepada Allah dan carilah rizki dengan cara yang baik, ambillah yang halal dan tinggalkanlah yang haram.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1743 dan Ibnu Majah II: 725 no:2144).

Dorongan untuk Bersikap Jujur dan Waspada Terhadap Dusta

Dari Hakim bin Hizam ra, dari Nabi, beliau bersabda, “Dua orang yang melakukan jual beli mempunyai hak khiyar (hak pilih antara membatalkan atau melanjutkan transaksi) selama mereka belum berpisah; jika mereka jujur dan menjelaskan (aib barangnya), niscaya mereka berdua diberi barakah dalam jual belinya; dan (sebaliknya) jika mereka menyembunyikan (aib barangnya) dan berdusta, niscaya barakah jual beli mereka dihapus.” Takhrij hadits ini sudah diketengahkan dalam pembahasan (Disyari’atkan Jual Beli).

Dari Uqbah bin Amir ra, ia berkata, Saya mendengar Rasulullah bersabda, “Orang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, dan tidak halal bagi seorang muslim menjual suatu barang cacat kepada saudaranya, kecuali ia menerangkan cacatnya kepadanya.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 6705 dan Ibnu Majah II: 775 no: 2246)

Anjuran agar Mempermudah dan Bersikap Toleran dalam Melakukan Transaksi Jual Beli

Dari Jubir bin Abdullah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Allah pasti memberi rahmat kepada seorang yang bersikap toleran bila menjual, membeli dan menuntut (haknya).” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 4454 dan Fathul Bari IV: 206 no: 2076).

Keutamaan Memberi Tangguh kepada Orang yang Kesulitan

Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi saw, Beliau bersabda, “Pernah ada seorang pedagang yang memberi pinjaman kepada orang-orang. Maka ketika ia melihat orang yang kesulitan (di antara mereka), ia berkata kepada para pemuda (penagih hutang),‘H endaklah kalian memaafkan dia, mudah-mudahan Allah pun memaafkan kita.’ Maka kemudian Allah memaafkannya.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3495, Fathul Bari IV: 308 no: 2078).

Dilarang Melakukan Penipuan

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata : (Pada suatu hari) Rasulullah melewati seorang pedagang sedang menjual makanan, kemudian Beliau memasukkan tangannya ke dalam (tumpukan) makanan itu. Ternyata makanan tersebut sudah dicampur, maka Beliau bersabda, “Bukanlah dari golongan kami orang yang melakukan penipuan.” (Shahih: Irwa’ul Ghalil no: 1319, Shahih Ibnu Majah no: 1809, Ibnu Majah II: 749 no: 2224 dan lafadz ini baginya, ‘Aunul Ma’bud IX: 321 no: 3435, Tirmidzi II: 389 no: 1329 dan Muslim I: 99 no: 102).

Dianjurkan Berpacu dalam Mencari Rizki

Dari  Shakhr al-Ghamidi ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Ya Allah berilah keberkahan kepada umatku (pada apa yang mereka kerjakan) di pagi hari.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1818, Ibnu Majah II: 752 no: 2236, Tirmidzi II: 343 no: 1330 dan ‘Aunul Ma’bud VII: 265 no: 2589).

Dzikir ketika Menjelang Masuk Pasar

Dari Salim bin Abdullah bin Umar ra, dari bapaknya dari datuknya bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa mengucapkan ketika menjelang masuk pasar, LAAILAAHA ILLALLAH WAHDAHUU LAA SYARIIKA LAH, LAHUL MULKU WA LAHUL HAMDU, YUHYII WA YUMIITU WA HUWA HAYYUN LAA YAMUUTU, BIYADIHIL KHAIRU KULLUH, WA HUWA ‘ALAA KULLI SYAI-IN QADIIR (Tidak ada ilah (yang patut diibadahi) selain Allah, yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya segala kekuassan dan bagi-Nya segala pujian. Dialah Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan. Dan Dialah Yang Maha Hidup yang tidak akan mati. Di tangan-Nyalah segala kebaikan. Dialah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu), niscaya Allah menulis untuknya satu juta kebaikan, dan menghapus darinya satu juta kejelekan, serta membangunkan untuknya sebuah rumah di dalam surga.” (Hasan: Shahih Ibnu Majah no: 1817 dan Ibnu majah II: 752 no: 2235).

Allah Menghalalkan Jual Beli

Pada prinsipnya boleh melakukan kegiatan jual beli apa saja dalam segala bentuk jual beli selama didasarkan pada sikap sama-sama ridha dari kedua belah pihak dan selama tidak dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.

Sumber: Diadaptasi dari ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma’ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 649 – 655.

Bab Air

26 Agu
Bab Air
Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Pengertian Thaharah
Menurut bahasa thaharah berarti annzhaafah wannazaahah minal ahdaats ’bersih dan suci dari berbagai hadas’. Adapun menurut istilah fiqih adalah raful hadas au izaalatun najas ’menghilangkan hadas atau membersihkan najis.’ (Lihat Al-Majmul Syarhul Muhadzdzab, jilid 1 hal. 79)

Bab Air

Semua air yang turun dari langit atau yang keluar dari dalam bumi, adalah suci dan mensucikan. Ini didasarkan pada firman Allah SWT, ”Dan kami menurunkan dari langit air yang amat suci.” (Al-Furqan: 48)

Dan sabda Nabi saw. tentang air laut, ”Ia (laut itu) suci airnya halal bangkainya.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no; 309,Muwaththa’ Imam Malik hal 26 no 40, Sunan Abu Dawud I: 152 no: 83, Sunan Tirmidzi I:47 no: 69, Sunan Ibnu Majah I: 136:386, dan Sunan Nasa’ I: 176).

Serta pada sabda Nabi saw. tentang sumur budha’ah, ”Sesungguhnya air itu suci, tidak bisa dinajiskan oleh sesuatupun”. (Shahih: Irwa’ul Ghalil no:14 ‘Aunul Ma’bud I :126-127 no: 66-67, Sunan Tirmidzi I:45 no: 66, Sunan Nasa’i I: 147).

Air tersebut tetap suci meskipun bercampur dengan sesuatu yang suci pula selama tidak keluar dari batas kesuciannya yang mutlak. Karena ada sabda Nabi SAW kepada sekelompok wanita yang akan memandikan puteri Beliau SAW., ”Mandikanlah dia tiga kali, atau lima kali atau lebih dari itu kalau kamu berpendapat begitu dengan air dan daun bidara. Dan pada kali yang terakhir berilah kapur barus atau sedikit kapur barus”. (Fathul Bari III:125 no:1253 dan Shahih Muslim II:646 no:939).

Tidak boleh terburu-buru menghukumi bahwa air itu najis, sekalipun kejatuhan barang yang najis, kecuali apabila berubah (baunya, atau rasanya, atau warnya) karena pengaruh barang yang najis tersebut. Ini didasarkan pada hadits Abu Sa’id, ia berkata, ”Ada seorang sahabat yang bertanya Ya Rasulullah, bolehkah kami berwudlu’ dengan (air) sumur budha’ah? Yaitu sebuah sumur yang darah haidh, daging anjing, dan barang yang bau busuk dibuang ke dalamnya.” Maka jawab Beliau SAW ”Air itu suci, tidak bisa dinajiskan oleh sesuatu apapun.” (Takhrij hadits ini persis dengan tarikhrij hadits tentang sumur budha’ah sebelumnya). (Dalam Tuhfatul Ahwadzi I:204 al-Mubarakfuri menulis bahwa Ath-Thiybi berkata: ”Makna ’Dibuang ke dalamnya’ ini, bahwa sumur ini adalah tempat berkumpulnya air dari sebagian lembah, sehingga tidak sedikit penduduk pedalaman yang singgah di sekitarnya, lalu mereka membuang kotoran yang dibawa dari rumahnya ke saluran air yang menuju ke sumur itu, sehingga akhirnya masuk ke dalamnya. Kemudian si penanya dalam riwayat di atas mengungkapkan dengan memberi kesan bahwa ada sejumlah orang yang kurang ta’at kepada agamanya sengaja membuang kotoran ke dalamnya, padahal ini adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan seorang muslim. Kemudian pantaskah tuduhan ini dialamatkan kepada generasi terbaik dan generasi paling bersih.” Selesai. Saya (al-Mubarakfuri) berkata, ”Bukan hanya satu ulama’ yang ‘ berpendapat seperti ini adalah pendapat yang jelas dan harus diambil” Selesai.)

Sumber: Diadaptasi dari ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma’ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 55–56.